Sluku-sluku batok... Batoke ela-elo..
Si Rama menyang Solo.. Oleh-olehe payung motho..
Mak jenthit lolo lobah..
Wong mati ora obah..
Yen obah medeni bocah.. yen urip golek-o dhuwit..
Si Rama menyang Solo.. Oleh-olehe payung motho..
Mak jenthit lolo lobah..
Wong mati ora obah..
Yen obah medeni bocah.. yen urip golek-o dhuwit..
Temang diatas sangat terkenal di tanah
jawa, yang diciptakan oleh Wali Songo. Tembang tersebut memiliki makna
filosofis yang sarat penuh hikmah, apa saja? Mari kita bahas :
Sluku sluku batok berasal
dari Bahasa Arab : Ghuslu-ghuslu bathnaka, artinya mandikanlah batinmu.
Membersihkan batin dulu sebelum membersihkan badan atau raga. Sebab
lebih mudah membersihkan badan dibandingkan membersihkan batin atau
jiwa. Dalam lagu Indonesia Raya juga mendahulukan jiwa lebih dulu :
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya...
Bathoke ela-elo : batine La Ilaha Illallah
: maksudnya hatinya senantiasa berdzikir kepada Allah, diwaktu senang
apalagi susah, dikala menerima nikmat maupun musibah, sebab setiap
persitiwa yang dialami manusia, pasti mengandung hikmah.
Si Rama menyang Solo : Mandilah,
bersucilah, kemudian kerjakanlah shalat. Allah menciptakan Jin dan
manusia tidak lain adalah agar supaya menyembah, menghambakan diri
kepada-Nya. Menyadari betapa besarnya anugerah dan jasa yang telah
diperoleh manusia dan betapa bijaksana Allah dalam segala ketetapan dan
pekerjaan-Nya. Kesadaran ini dapat mendorong seorang hamba untuk
beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang
telah diterima. Manusia sendirilah yang akan memperoleh manfaat ibadah
yang dilakukannya.
Oleh-olehe payung motho : Lailaha Illalah
hayyun mauta : dzikir pada Allah mumpung masih hidup, bertaubat sebelum
datangnya maut. Manusia hidup di alam dunia tidak sekedar memburu
kepentingan duniawi saja, tetapi harus seimbang dengan urusan-urusan
ukhrowi. Kesadaran akan hidup yang kekal di akhirat, menumbuhkan
semangat untuk mencari bekal yang diperlukan.
Mak jentit lolo lobah wong mati ora obah,
yen obah medeni bocah, yen urip golekka dhuwit : Kalau sudah sampai
saatnya, mati itu sak jenthitan selesai, habis itu tidak bergerak. Walau
ketika hidup sebagai raja diraja, sugih banda-bandhu, mukti wibawa,
ketika mati tidak ada yang dibawa. Ketika masih hidup supaya berkarya,
giat berusaha.
Mendengarkan senandung lir ilir sepintas biasa saja, namun jika kita
mau sedikit peka akan syair lagu ini, wah wah pasti akan terkagum kagum
dengan penciptanya yakni para wali tanah jawa, penggabungan kecerdasan
otak serta kecerdasan emosi yang sudah terbukti akan kharisma para Wali
tertuang dalam Lagu ini.
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane Yo surako… surak hiyo…
arti bahasa indonesianya kira kira seperti ini: Sayup-sayup bangun (dari tidur ) Pohon sudah mulai bersemi, Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,? walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian, Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan. Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore Mumpung terang rembulannya Mumpung masih banyak waktu luang Mari kita bersorak-sorak ayo…
Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“. Apakah makna mendalam dari tembang ini?ada baiknya Mari kita coba mendalami maknanya.
Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawali dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita Pikirkan ini) ..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro . Walaupun dengan bersusah payah karena licin, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan. Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “ mari kita terapkan syariat Islam ” sebagai tanda kebahagiaan. Demikian tadi sepenggal makna dari lagu yg sepertinya sepele namun mngndung pesan kebaikan yg sngat mulia dari para wali dahulu.
Seperti lagu Lir-ilir yang sarat dengan makna filosofis, lagu Cublek-cublek Suweng yang sering dinyanyikan anak-anak di daratan Jawa juga mengandung makna yang dalam seperti digali oleh seorang kolega saya, Agung Webe seorang penulis, pemerhati dan penggali budaya sekaligus trainer pemberdayaan diri. Berikut tulisannya:
Gundul kalau dalam bahasa Jawa maknanya kepala yang tidak memiliki rambut alias botak. Sedangkan rambut bisa berarti suatu mahkota atau kehormatan seseorang, jadi filosofi lagu gundul-gundul pacul yang pertama ini yaitu gundul: kehormatan yang tidak memiliki mahkota.
Pacul mengandung makna alat yang digunakan oleh petani, atau dalam bahasa Indonesia disebut cangkul. Pacul: melambangkan kaum bawah yang biasanya adalah petani.
Gundul pacul mengandung makna: seorang yang memimpin bukanlah orang yang diberi mahkota, namun seorang pembawa cangkul yang harus memperjuangkan rakyatnya. Dikalangan Jawa makna filosofi pacul merupakan sebuah singkatan yang berarti 'papat kang ucul' yaitu mata. telinga, hidung dan mulut. Jadi kemuliaan seorang pemimpin bergantung bagaimana dia mempergunakan pacul tersebut.
Gembelengan maknanya: besar kepala atau sombong dalam mempergunakan kekuasaanya. Seorang pemimpin hendaklah menjaga sikap agar tidak gembelangan dalam memimpin rakyat. Jadi makna 'nyunggi wakul gembelengan' adalah seorang pemimpin yang semena-mena menyandang amanah rakyat.
Wakul bisa diartikan sebagai ketenteraman rakyat, jika 'wakul ngglempang segane dadi sak latar' maka artinya kalau pemimpin semena-mena maka kesejahteraan rakyat akan tumpah dan tidak dihiraukan lagi.
Nah itulah kurang lebih makna lagu gundul-gundul pacul yang blogger gunungkidul baca dari beberapa sumber. Jika merasa kurang lengkap, silahkan ditambahkan sendiri ya, dan semoga kita senantiasa ingat dengan filosofi lagu anak diatas
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane Yo surako… surak hiyo…
arti bahasa indonesianya kira kira seperti ini: Sayup-sayup bangun (dari tidur ) Pohon sudah mulai bersemi, Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,? walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian, Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan. Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore Mumpung terang rembulannya Mumpung masih banyak waktu luang Mari kita bersorak-sorak ayo…
Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“. Apakah makna mendalam dari tembang ini?ada baiknya Mari kita coba mendalami maknanya.
Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawali dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita Pikirkan ini) ..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.
Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro . Walaupun dengan bersusah payah karena licin, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan. Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “ mari kita terapkan syariat Islam ” sebagai tanda kebahagiaan. Demikian tadi sepenggal makna dari lagu yg sepertinya sepele namun mngndung pesan kebaikan yg sngat mulia dari para wali dahulu.
Seperti lagu Lir-ilir yang sarat dengan makna filosofis, lagu Cublek-cublek Suweng yang sering dinyanyikan anak-anak di daratan Jawa juga mengandung makna yang dalam seperti digali oleh seorang kolega saya, Agung Webe seorang penulis, pemerhati dan penggali budaya sekaligus trainer pemberdayaan diri. Berikut tulisannya:
Cublak-cublak suweng,suwenge teng gelenter,mambu ketundhung gudhel,pak empo lera-lere,sopo ngguyu ndhelikake,Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Lirik
lagu diatas adalah lagu yang biasa dinyanyikan dalam permainan
anak-anak di Jawa pada saat saya masih kecil. Saya masih sangat ingat,
saat itu, kira-kira kami ber tujuh. Satu orang dalam posisi telungkup
menutup mata, dan kami berenam duduk bersimpuh mengelilingi yang
telungkup dengan tangan diatas punggungnya. Salah satu dari kami
menyembunyikan batu kerikil yang akan ditebak oleh teman yang telungkup
tadi.
Sebuah
permainan yang biasa saya mainkan bersama teman-teman pada sore hari
atau pada waktu sinar bulan terang menyinari kampung kami.
Sepertinya
sederhana dan biasa. Hanya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak
sebagai pengiring permainan. Namun dalam perjalanan setelah saya
menyelami budaya Jawa, terutama pada waktu saya menggali literature serat Wulang Reh(yang akhirnya jadi buku Javanese Wisdom), dan juga Serat Niti Sruti (sedang
saya persiapkan jadi sebuah buku baru seri Javanese Wisdom), mau tidak
mau saya bersentuhan dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
filosofi Jawa.
Memang
ada beberapa versi lirik lagu Cublak-cublak Suweng ini. Beberapa daerah
di Jawa mungkin mempunyai sedikit perbedaan dalam liriknya. Yang saya
tuliskan disini adalah versi saya pada saat saya masih kecil
menyanyikannya, dan tentunya saya masih hapal sampai sekarang.
Lagu ini, entah siapa yang menciptakan (saya tidak akan berpolemik siapa yang menciptakan, karena banyak versi tentang hal tersebut),
bagi saya siapapun yang menciptakan telah menciptakan sebuah lirik
filosofi kehidupan yang sangat dalam dan sarat akan pelajaran kemuliaan.
Saya
akan mencoba menyelami arti filosofi dari lagu Cublak-Cublak Suweng ini
secara bebas. Artinya saya akan bebas mengartikannya sesuai kesadaran
saya saat ini dan sesuai dengan pemahaman saya atas ‘sanepo’ atau lambang yang sering digunakan oleh orang Jawa. Ya orang Jawa banyak menggunakan lambang untuk mengajarkan sesuatu.
Cublak-cublak suweng,Cublak adalah tempat, dan Suweng adalah nama salah satu jenis perhiasan wanita (harta yang sangat berharga). Dalam lirik pertama digambarkan bahwa ‘ada sebuah tempat dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga’
Suwenge teng gelenter,Suwenge adalah nama jenis perhiasan tersebut atau harta yang sangat berharga tersebut. Teng Gelenter adalah berserakan dimana-mana, terdapat dimana-mana, ada disemua arah penjuru.
Mambu ketundhung gudhel,Mambu adalah tercium. Ketundhung adalah dituju. Gudhel adalah
sebutan anak Kerbau. Tercium yang kemudian dituju oleh anak Kerbau.
Lirik ini menggambarkan adanya sebuah kabar yang didengar oleh orang
bodoh atau orang yang tidak tahu (digambarkan sebagai Gudhel) . Orang-orang yang tidak tahu ini mendengar sebuah kabar yang kemudian menuju ke arah kabar tersebut.
Pak empo lera-lere,Pak empo adalah gambaran dari orang-orang bodoh tersebut. Lera-lere adalah
tengak-tongok kiri kanan. Lirik ini menggambarkan bahwa orang-orang
bodhoh tersebut hanya tengak-tengok kiri-kanan tidak tahu apa-apa.
Sopo ngguyu ndhelikake,Sopo ngguyu adalah siapa yang tertawa. Ndhelikake adalah
menyembunyikan. Lirik ini menggambarkan bahwa ada yang menyembunyikan
sesuatu dan tetap tertawa. Artinya ia tertawa bahwa tahu ada sesuatu
yang disembunyikan.
Sir-sir pong dele kopong,Pong adalah pengulangan kata dari dele kopong. Dele kopong adalah
kedelai yang kosong tidak ada isinya. Lirik ini menggambarkan tentang
kekosongan jiwa, kekosongan pikiran, kekosongan ilmu, dan juga Orang
yang banyak bicara tapi sedikit ilmunya. Sedangkan Sir artinya hati nurani. Sir disini merupakan jawaban dari pertanyaan pertama diatas.
Mari kita rangkai lagu ini secara utuh:
Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter, mambu ketundhung gudhel, pak empo lera-lere, sopo ngguyu ndhelikake, Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.
Kemudian mari kita maknai secara utuh agar kita mendapatkan keutuhan dari filosofi lagu ini:
Ada sebuah tempat, dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga (Cublak-cublak suweng). Namun walaupun ada tempatnya, harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana (suwenge teng gelenter).
Disini
menjadi sebuah pertanyaan awal: bila ada sebuah tempat dan tempat
tersebut menyimpan harta sangat berharga, sedangkan harta itu sendiri
tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana. Tempat manakah itu? Tempat
yang menyimpan harta namun hartanya terdapat dimana-mana. Lha kan aneh?
Hartanya tersimpan disebuah tempat namun harta tersebut juga berada
dimana-mana.
Sang penulis lagu ini sedang membeberkan konsep ‘keberlimpahan’ menjadi sebuah lagu sederhana.
Mari kita cermati lebih lanjut. Suwenge teng gelenter yang menggambarkan bahwa harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana adalah sebuah gambaran keberlimpahan hidup.
Disekeliling kita, kanan kiri atas bawah terdapat harta tersebut. Tentu
saja ini sebuah berita yang mengejutkan bagi sebagian orang yang disini
digambarkan sebagai ‘Gudhel’: Benarkah keberlimpahan hidup tidak jauh dari kita? Masak sih? Dimana tempatnya sehingga aku bisa mudah mengambilnya?
Berita tersebut memicu orang-orang bodoh, orang-orang berpengetahuan sempit (mambu ketundhung gudhel)
untuk bergegas mencarinya. Mereka karena tidak dibekali pengetahuan
jiwa maka walaupun banyak yang merasa menemukan harta yang mereka anggap
berharga, tetap saja mereka masih merasa kurang dan selalu menengok
kiri-kanan (pak empo lera-lere). Kesuksesan,
materi, nama besar, jabatan, yang semua itu dianggap keberlimpahan tetap
saja mengakibatkan bingung dan tidak puas. Mereka masih ‘pak empo lera-lere’. Pak empo lera-lere juga dapat menggambarkan penderitaan dari orang-orang bodoh yang merasa menemukan keberlimpahan tersebut.
Dibalik
semua itu, ada orang-orang yang sudah menemukan keberlimpahan. Mereka
yang sudah menemukan harta yang sangat berharga tersebut, melihat
orang-orang yang selalu mengejar keberlimpahan palsu, mereka hanya
tertawa saja (sopo ngguyu ndhelikake). Mereka tertawa seakan-akan menyembunyikan rahasia: eh bukan itu lho! Itu palsu! Itu hanya ilusi dunia!
Lalu yang terakhir, orang-orang bodoh ini, para Gudhel ini
yang kemudian malah berkoar-koar sudah menemukan. Mereka banyak bicara,
bahkan mengajarkan cara untuk menemukannya. Padahal ‘dele kopong’, dele kopong yaitu yang banyak bicara adalah orang tak berisi. Dele kopong bila dalam peribahasa Indonesia adalah Tong kosong nyaring bunyinya.
Konsep
keberlimpahan hidup dalam lagu Cublak-cublak Suweng ini sangat
istimewa. Orang-orang bodoh selalu mencarinya keluar dari dirinya (mambu ketundhung gudhel) sehingga ia tetap merasa bingung dalam hidup (pak empo lera-lere). Sementara orang bijaksana (sopo ngguyu ndhelikake) menyadari bahwa tempat rahasia (cublak) yang merupakan tempat menyimpan harta sangat berharga (suweng) yang sekaligus membuat harta tersebut tersebar dimana-mana (suwenge teng gelenter) ada di dalam ‘Sir‘ (kata pertama dalam kalimat sir sir pong dele kopong), Sir adalah hati nurani manusia!
Di lain daerah (diingatkan oleh sahabat saya, mas Ronggo Sutikno dari Jawa Timur), lirik terakhir ada yang berbunyi demikian:
Sir sir pong udele bodong, sir sir pong udele bodong
Lirik ini juga merupakan sebuah nasehat atau ‘jalan’ istimewa untuk menemukanCublak itu tadi. Bagaimana caranya menemukan tempat bagi harta yang sangat berharga tersebut? Yaitu sir pong udele bodong!
Sir adalah Hati Nurani, sedangkan pong udele bodong adalah sebuah ‘sasmita’ atau gambaran tentang wujud yang tidak memakai apa-apa sehingga udel atau
pusarnya kelihatan. Telanjang atau orang yang tidak memakai artibut
apa-apa adalah orang sederhana, rendah hati, mengedepankan rasa dan
selalu memuliakan orang lain. Yang akan menemukan ‘Cublak’ tersebut
adalah orang yang polos, tidak memakai atribut, tidak memakai ego
kepemilikan dan kemelekatan, dan itu bukanlah para Gudhel! Ia sekali lagi adalah para pong udele bodong, yaitu orang-orang polos, sederhana, dan bersih hatinya.
Lagu gundul2 pacul diciptakan oleh Sunan Kalijaga sekitar tahun 1400-an dahulu. Berikut bunyi lagu anak2 yang fenomenal ini:
Gundul gundul pacul-cul,
gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang
segane dadi sak latar
Gundul kalau dalam bahasa Jawa maknanya kepala yang tidak memiliki rambut alias botak. Sedangkan rambut bisa berarti suatu mahkota atau kehormatan seseorang, jadi filosofi lagu gundul-gundul pacul yang pertama ini yaitu gundul: kehormatan yang tidak memiliki mahkota.
Pacul mengandung makna alat yang digunakan oleh petani, atau dalam bahasa Indonesia disebut cangkul. Pacul: melambangkan kaum bawah yang biasanya adalah petani.
Gundul pacul mengandung makna: seorang yang memimpin bukanlah orang yang diberi mahkota, namun seorang pembawa cangkul yang harus memperjuangkan rakyatnya. Dikalangan Jawa makna filosofi pacul merupakan sebuah singkatan yang berarti 'papat kang ucul' yaitu mata. telinga, hidung dan mulut. Jadi kemuliaan seorang pemimpin bergantung bagaimana dia mempergunakan pacul tersebut.
Gembelengan maknanya: besar kepala atau sombong dalam mempergunakan kekuasaanya. Seorang pemimpin hendaklah menjaga sikap agar tidak gembelangan dalam memimpin rakyat. Jadi makna 'nyunggi wakul gembelengan' adalah seorang pemimpin yang semena-mena menyandang amanah rakyat.
Wakul bisa diartikan sebagai ketenteraman rakyat, jika 'wakul ngglempang segane dadi sak latar' maka artinya kalau pemimpin semena-mena maka kesejahteraan rakyat akan tumpah dan tidak dihiraukan lagi.
Nah itulah kurang lebih makna lagu gundul-gundul pacul yang blogger gunungkidul baca dari beberapa sumber. Jika merasa kurang lengkap, silahkan ditambahkan sendiri ya, dan semoga kita senantiasa ingat dengan filosofi lagu anak diatas